Laporan Wartawan TribunSolo.com, Andreas Chris Febrianto Nugroho

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Belum lama ini beredar video viral di media sosial Facebook, salah satu pemilik usaha angkringan di Kota Solo mengeluh karena usaha orang tuanya tersebut dikenai wajib pajak mencapai Rp 12 juta perbulan.

Kabar tersebut pertama kali diunggah oleh akun Facebook @Hantozmurtadha melalui grup Info Cegatan Solo dan Sekitarnya pada 7 Agustus 2024 lalu.

Dalam unggahan yang disertai dengan video pendek (short) yang memperlihatkan situasi angkringan tersebut, pengunggah juga menuliskan keterangan bahwa usaha angkringan milik ayahnya itu sebelumnya dikenai wajib pajak Rp 3 juta per bulan.

Namun belum lama ini wajib pajaknya dinaikkan mencapai Rp 12 juta.

"Niki wedangan bapak kulo (re: ini wedangan bapak saya) ..... Sebelumnya ditariki pajak 3 juta/bulan. Sekarang minta naik jadi 12 juta sebulan..... Monngo sami komentar pripun tangepanipun .... Kota solo," tulis pengunggah dalam keterangan unggahan.

Menanggapi kabar viral tersebut, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Solo, Tulus Widajat membenarkan terkait adanya perubahan penarikan pada objek wajib pajak berupa usaha angkringan tersebut sesuai aturan yang berlaku.

Penarikan pajak yang dilakukan oleh Bapenda Kota Solo itu dikatakan oleh Tulus tak lain karena usaha angkringan tersebut masuk dalam kategori wajib pajak.

"Jadi ya ini termasuk mereka sudah masuk dalam kategori wajib pajak karena sebelumnya kami menugaskan petugas korwil setempat untuk melakukan pengamatan. Jadi mereka melakukan pengamatan dan hasil pengamatan itu disimulasikan dan ternyata memenuhi kriteria wajib pajak," terang Tulus saat dikonfirmasi TribunSolo.com, Selasa (27/8/2024).

Tulus pun juga menegaskan terkait perubahan wajib pajak yang dikenakan oleh Bapenda Solo kepada pengusaha angkringan tersebut sebenarnya sudah dikomunikasikan sebelumnya.

Namun memang dari pihak pemilik usaha masih belum menyetujui perubahan wajib pajak.

"Jadi kami juga sudah mengkomunikasikan dengan yang bersangkutan. Jadi yang bersangkutan juga sudah kita undang ke kantor untuk melakukan klarifikasi tentang data yang sudah kami sampaikan. Jadi tidak langsung kita memaksakan harus membayar wajib pajak sekian juta. Itu sudah dikomunikasikan, hanya mereka belum setuju," sambung Tulus.

Terkait perubahan objek wajib pajak yang dikeluhkan dari Rp 3 juta per bulan menjadi Rp 12 juta per bulan tersebut diakui Tulus sudah melalui proses penghitungan sesuai aturan yang berlaku. Sebagai informasi, dalam ketentuan yang tertuang di UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Perda Nomor 14 Tahun 2023, pelaku usaha restoran termasuk PKL kuliner diharuskan membayar pajak sebesar 10 persen jika omzet per bulannya mencapai Rp 7,5 juta.

"Jadi kami menugaskan petugas untuk mengamati, berapa pembeli yang datang pada hari itu ke sana. Kemudian dikomparasikan dengan data harga rata-rata makanan dan minuman di sana. Jadi kalau ada sekian orang berkunjung per hari dengan harga rata-rata sekian itu berarti pendapatan kotor perhari bisa diketahui. Jadi kita rata-rata jumlah pengunjung dikali rata-rata harga makanannya saja," urai Tulus.

"Jadi sebenarnya juga sudah kita sampaikan cara kami menghitung wajib pajak kepada yang bersangkutan. Cuma mereka mengatakan butuh waktu karena kita juga butuh persetujuan dari pemilik usaha. Karena kita melakukan optimalisasi penyerapan wajib pajak itu bukan untuk mematikan usaha mereka,"

"Hanya kami memastikan haknya negara harus dipenuhi, cuma itu saja. Kan sesuai undang-undang kan ada hak negara yang harus dibayarkan melalui pedagang yang dipungut dari pembeli," tambahnya.

Dengan wajib pajak sebesar Rp 12 juta tersebut, diperkirakan omzet dari angkringan mencapai Rp 120 juta per bulan.

"Iya omzet perbulan dari mereka. Mungkin bisa jadi (omzet sekitar Rp 120 juta per bulan)," kata dia.

Lebih lanjut, Tulus menegaskan bahwa ada mekanisme penyanggahan maupun permohonan keringanan wajib pajak bagi pelaku usaha yang omzetnya lebih dari Rp 7,5 juta per bulan.

Lebih dari itu, Tulus juga menjelaskan bahwa sebenarnya mekanisme wajib pajak bagi PKL beromzet lebih dari Rp 7,5 juta per bulan menggunakan sistem self assessment atau penghitungan mandiri.

"Ada, jadi mekanisme keringanan itu ada dan itu hak pemilik usaha. Jadi silahkan saja itu dimanfaatkan dan sudah diatur di dalam regulasi. Cuma sebetulnya itu omzet yang dihitung per bulan. Jadi kalau omzet per bulan tidak memenuhi itu (Rp 7,5 juta), ya tidak usah bayar pajak," sebut Tulus.

Sehingga dalam perjalanannya apabila PKL Kuliner tersebut pendapatan perbulannya turun menjadi kurang Rp 7,5 juta maka tidak dikenakan wajib pajak pada bulan berikutnya.

"Ini memang kuncinya pada kejujuran, karena ini termasuk jenis pajak self assessment. Jadi menghitung pajak sendiri, jadi pajak yang dibayarkan ya dihitungkan sendiri,"

"Sebetulnya ya tidak berat, karena kalau memang tidak memenuhi omzet seperti di dalam undang-undang kan memang tidak perlu bayar. Tetapi ketika omzet memenuhi ya harus bayar karena itu kewajiban dan hak negara harus memenuhi," pungkas Tulus.

(*)

Baca Lebih Lanjut
Begini Cara Membuat Es Teh Enak dan Kental ala Angkringan Solo, Simak
Dok Grid
Lampaui target, Bapenda Kota Malang beri apresiasi wajib pajak
Antaranews
Mudahkan Masyarakat, Bapenda Jabar Buka Samsat Keliling dan Samsat Digital Mandiri di WJF 2024
Giri
Segini Pajak Tahunan Daihatsu Xenia 1.3 X
Detik
Bapenda Jabar Buka Samsat Keliling dan Samsat Digital Mandiri di West Java Festival 2024
Seli Andina Miranti
Duh! Kabur Tak Bayar Tagihan Makan Rp 6,4 Juta, Pelanggan Ini Berkelit
Detik
Pemutihan Denda Pajak Kendaraan DKI Jakarta Masih Ada, Terakhir Pekan Ini!
Detik
Update Harga Bahan Pokok Hari Ini di Medan, Bawang Merah Rp 24.000 Per Kilogram
Ayu Prasandi
Viral, Pria Diduga Dijebak Bengkel Kena Getok Harga Betulkan Kopling Rp1,5 Juta, Begini Kronologinya
Hilda Rubiah
KementerianPANRB Buka 61 Formasi CPNS, Gaji Rp 7-12 Juta
KumparanBISNIS